Kamis, 10 Juli 2014

Hubungan Teori Kepastian Hukum oleh John Austin dengan Kewenangan Notaris dalam 
Proses Pendaftaran Sertipikat Fidusia Online terhadap Perusahaan Leasing.
John Austin, sebagai salah satu pilar dari kepastian hukum mengemukakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain dianggap sebagai sumber yang rendah atau lemah (subordinate sources) dan karenanya tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang aturan dari penguasa ada. Sumber-sumber yang lebih rendah tersebut (penulis menyebutnya sebagai sumber inferior), bagi Austin sejatinya tidak dianggap sama sekali oleh Austin karena baginya sumber itu tidak memiliki kekuatan mengikat dan memaksa. Salah satu konsep dasar dari Austin yang juga menjadi episentrum positivisme hukum adalah sifat otonom hukum dan dapat mencukupi dirinya sendiri (self-sufficient) (Rahardjo, 1991).
Ini mengindikasikan bahwa, Austin melihat hukum sebagai entitas yang independen dan adekuat sehingga anasir-anasir non hukum harus dipinggirkan agar tidak mengganggu prosesi internal dalam hukum itu sendiri, serta menjaga wibawa dan efektifitas hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Bagi John Austin, hukum merupakan perintah dari kekuasaan yang berdaulat. Kedaulatan itulah yang menyebabkan hukum memiliki kekuatan mengikat dan memaksa bagi setiap warga negara untuk mematuhinya dan memberikan sanksi bagi setiap pelanggaran yang dilakukan. Sejatinya, Austin memandang bahwa hukum harus dilembagakan dan dikodifikasi agar hukum benar-benar dapat menjadi patron. Dapat dibayangkan jika hukum tidak diundangkan atau dibuat dalam suatu peraturan tertulis, maka gesekan atau benturan legal reasoning menyebabkan hukum berada pada posisi inferior. Inilah yang sesungguhnya ditakutkan oleh Austin; bahwa hukum kemudian tidak memiliki wibawa untuk mengatur masyarakat.
Hukum merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. John Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup, sehingga anasir-anasir non hukum dianggap tidak penting. Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur, yaitu (Imran Nating, 2008; Otje Salman, 2009):
  1. Perintah
  2. Sanksi (sesuatu yang buruk yang melekat pada perintah)
  3. Kedaulatan
  4. Kewajiban
Segala ketentuan yang tidak mengandung empat unsur tersebut di atas, bukan hukum melainkan hanya moralitas. Inilah episentrum ajaran Austin, bahwa hukum harus dipisahkan dari konsep moralitas.
Achmad Ali (1996) mengikhtisarkan ajaran John Austin sebagai berikut:

  1. Hukum merupakan perintah penguasa (law is a commad of the lawgiver), hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi
  2. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup
  3. Hukum positif harus memenuhi beberapa unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan, di luar itu bukanlah hukum melainkan moral positif.
Keempat unsur Hukum di atas merupakan inti dari terwujudnya kepastian hukum di bangsa kita. Negara Indonesia adalah Negara Hukum bukan Negara Agama dan bukan juga Negara Komunis. Artinya Negara dilindungi, diatur dan dikendalikan oleh Hukum yang berlaku. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 jelas mengatur bahwa jangka waktu bagi perusahaan pembiayaan wajib mendaftarakan jaminan fidusia paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen. Jika melewati maka pemerintah akan memberi sanksi mulai dari peringatan teguran, sanksi administratif sampai pembekuan usaha. Namun fakta di lapangan hal ini belum pernah terjadi.
Tidak adanya sanksi hukum mengakibatkan lemahnya penegakan hukum dan kepastian hukum tidak dapat dicapai. Meskipun hukum sudah dibuat dalam bentuk peraturan tertulis namun hukum tidak ditaati. Penyebabnya adalah belum kuatnya kesadaran hukum baik dalam diri pemerintah sendiri maupun dalam diri perusahaan pembiayaan (leasing) dan notaris. Belum pernah ada sanksi ringan atau sanksi berat sesuai aturan yang sudah diberlakukan oleh Kementrian Keuangan maupun Kementrian Hukum dan HAM diberikan kepada perusahaan pembiayaan (leasing) yang melewati batas tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari tersebut. Sementara akta jaminan fidusia dan sertipikat fidusia online diterima perusahaan pembiayaan (leasing) dari notaris lebih dari 30 (tigapuluh) hari atau 1 (satu) bulan tersebut bahkan sampai berbulan-bulan, bisa sampai 6 (enam) bulan.
Belum adanya sanksi dari pemerintah terhadap perusahaan pembiayaan (leasing), maka perusahaan pembiayaan (leasing) tidak memberi peringatan atau teguran kepada notaris selaku pejabat yang sudah diberi wewenang untuk membuat akta jaminan fidusia dan melakukan pendaftaran sertipikat fidusia online. Notaris bersikap tenang-tenang saja dan mengganggap tidak ada yang perlu dikuatirkan, karena tidak ada uang dari kantongnya yang harus dikeluarkan.
Kecendrungan individu adalah baru bertindak jika ada sanksi yang mengakibatkan pengeluaran uang dari kantongnya. Demikian juga dengan notaris. Apabila notaris mengetahui isi dari peraturan perundang-undangan maka notaris wajib memberitahu kliennya, dalam hal ini perusahaan pembiayaan (leasing) agar bersama-sama mematuhi aturan sebelum datangnya sanksi dari pemerintah. Notaris yang baik adalah notaris yang bekerja dan melakukan tanggung jawabnya dengan tetap memegang asas proffesionalitas dan kode etiknya sebagai pejabat yang melayani publik dengan suatu kesadaran hukum, dan bukan pejabat yang hanya mementingkan mencari uang.
Tidak adanya kepastian hukum juga dapat kita lihat di Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, tertulis : “Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran”. Fakta di lapangan adalah Sertifikat Jaminan Fidusia Online belum tentu diserahkan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran, tetapi baru diserahkan apabila notaris selaku pejabat yang melakukan pendaftaran sertipikat fidusia online sudah membayarkan biaya PNBP ke Bank persepsi (BNI). Bisa saja pada hari itu juga dan bisa saja esok hari maupun beberapa hari kemudian. Aturan ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan perlu direvisi untuk mencegah kerugian yang akan ditimbulkan di kemudian hari, baik bagi perusahaan pembiayaan (leasing) maupun bagi notaris sendiri.
Hubungan Teori Pertanggung Jawaban Hukum oleh Hans Kelsen dengan Tanggung Jawab Notaris dalam Proses Pendaftaran Sertipikat Fidusia Online terhadap Perusahaan Leasing.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut the Pure of Theory Law, dimana hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral. Interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Yang sering terjadi adalah norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen adalah :

  1. Teori hukum adalah teori ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
  2. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu hukum alam.
  3.  Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
  4. Hubungan antara teori hukum dengan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/berlawanan hukum. Sanksi dikenakan deliquet, karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. Subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama.
Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab: pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawab mutlak (absolut responsibility). Tanggungjawab mutlak yaitu suatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatan dengan akibatnya. Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari perbuatannya.
Hukum tradisional melihat hubungan antara perbuatan dan efeknya tidak memiliki kualifikasi psikologis tindakan inividu telah diantisipasi atau dilakukan dengan maksud menimbulkan akibat atau tidak adalah tidak relevan. Teknik hukum terkini menghendaki suatu pembedaan antara kasus ketika tindakan individu telah direncanakan dan dimaksudkan untuk efek tertentu dari perbuatan tersebut dan kasus ketika tindakan seorang individu membawa akibat merugikan yang tidak diantisipasi atau dikehendaki oleh pelaku. suatu cita atau ide keadilan individualitas mensyaratkan bahwa suatu sanksi harus diberikan kepada tindakan individu hanya jika akibat yang merugikan dari perbuatan telah di antisipasi oleh pelaku dan jika kehendaknya merugikan individu lain dengan perbuatannya itu.
Suatu akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang mungkin ditimbulkan dengan sengaja oleh seorang individu tetapi tidak dengan maksud merugikan oleh pembuat undang-undang mungkin ditimbulkan dengan sengaja oleh seorang individu tetapi tidak dengan maksud merugikan orang lain. Sebagai contohnya seorang anak mungkin membunuh ayahnya yang sakit yang tak dapat disembuhkan penyakitnya demi mengakhiri penderitaan ayahnya. Maka maksud anak atas kematian ayahnya bukan tindakan terlarang.
Demikian juga yang terjadi pada fakta di lapangan, dimana notaris menyerahkan akta jaminan fidusia dan sertipikat fidusia online kepada perusahaan pembiayaan (leasing) terlambat dan melewati jangka waktu 30 (tigapuluh) hari dikarenakan bukan kesalahan yang disengaja melainkan karena adanya keterlambatan dari perusahaan pembiayaan (leasing) menyerahkan data dokumen nasabah (warkah) kepada notaris yang jumlahnya sangat banyak bisa ratusan nasabah bahkan ribuan nasabah.
Hal ini jelas melanggar peraturan perundang-undangan dan merupakan suatu kesalahan tetapi perusahaan pembiayaan (leasing) mengganggap kesalahan ini masih dapat ditolerir dan dimaklumi, karena kesalahan tidak sepenuhnya pada notaris tetapi juga diawali keterlambatan penyerahan data oleh perusahaan pembiayaan (leasing). Terlepas dari tau tidaknya perusahaan terhadap aturan yang tidak memperbolehkan terbitnya sertipikat melewati tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari setelah perjanjian pembiayaan, perusahaan tetap mengganggap notaris sudah melakukan tanggung jawabnya. Padahal notaris belum tentu mengetahui peraturan yang menyangkut akta dan sertipikat yang dibuatnya.
Bab III pasal 3 point (d) Kode Etik notaris mengatur dengan jelas bahwa kewajiban seorang notaris harus meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan. Notaris dianggap mengetahui segala sesuatu menyangkut segala peraturan terhadap akta dan sertipikat yang dibuatnya. Tidak heran perusahaan pembiayaan (leasing) selalu meminta kepada notaris akta jaminan fidusia dan sertipikat fidusia online yang diserahkan harus dalam keadaan sempurna dan tidak ada kesalahan 1 (satu) huruf atau 1 (satu) angka sekalipun..
Pemerintah juga sampai saat ini belum memberikan teguran atau sanksi terhadap perusahaan pembiayaan (leasing) yang melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan ini. Inilah yang perlu diubah dalam budaya birokrasi di bangsa kita. Setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan jangan dibiarkan sebelum muncul masalah. Sanksi harus diberikan sebelum muncul masalah di kemudian hari.
Prinsip pemberian sanksi terhadap tindakan individu hanya karena akibat perbuatan tersebut telah direncanakan dan dengan maksud yang jahat oleh individu, tidak sepenuhnya diterima hukum modern. Menurut hukum, individu tidak hanya dianggap bertanggungjawab jika akibat secara obyektif membahayakan telah ditimbulkan dengan maksud jahat oleh tindakannya, tetapi juga jika akibat perbuatan tersebut telah dimaksudkan walaupun tanpa niat yang salah, atau jika akibat tersebut terjadi tanpa adanya maksud atau direncanakan oleh individu pelaku. Namun sanksinya mungkin berbeda dalam kasus yang berbeda-beda.
Sanksi itu ditandai dengan fakta bahwa tindakan yang merupakan delik dengan kualifikasi psikologis. Suatu keadaan jiwa tertentu dari si penjahat, yakni bahwa dia mengantisipasi atau menghendaki akibat yang membahayakan (yang disebut mens re), merupakan unsur suatu delik. Unsur ini disebut dengan istilah kesalahan (fault) (dalam pengertian lebih luas disebut dolus atau culpa). Ketika sanksi diberikan hanya terhadap delik dengan kualifikasi psikologis inilah disebut dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (responsibility based on fault atauculpability). Dalam hukum modern juga dikenal bentuk lain dari kesalahan yang dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan atau kekhilafan (negligance). Kealpaan atau kekhilafan adalah suatu delik omisi (kelalaian), dan pertanggungjawaban terhadap kealpaan lebih merupakan pertanggungjawaban absolut daripada culpability.
Tanggung jawab absolut dalam masyarakat primitif tidak mewajibkan para individu untuk melakukan tindakan yang diperlukan guna menghindari akibat dari tindakannya yang membahayakan individu lain, dan hukum pada masyarakat primitif tidak membatasi sanksi pada kasus-kasus dimana akibat yang membahayakan telah diantisipasi dan dikehendaki oleh si pelaku atau dimana kewajiban untuk melakukan kehati-hatian yang diperlukan tidak dipenuhi. Sanksi dilekatkan pada suatu tindakan yang akibatnya membahayakan telah ditimbulkan tanpa menghiraukan kehati-hatian yang diperlukan.
Hal ini yang terjadi di lapangan, dimana perusahaan pembiayaan (leasing) segera meminta notaris untuk melakukan perbaikan (revisi) atas kesalahan pada akta jaminan fidusia dan sertipikat fidusia online yang dibuatnya. Karena setiap kesalahan ketik pada akta jaminan fidusia maupun pada sertipikat fidusia online sepenuhnya merupakan tanggung jawab notaris. Sehingga ketika diserahkan kembali kepada perusahaan pembiayaan (leasing), akta dan sertipikat sudah dalam keadaan sempurna.
Konsep kewajiban yang dikembangkan disini adalah konsep yang dimaksudkan oleh teori analitis Austin, argumentasi Austin berdasarkan pada asumsi bahwa sanksi selalu dikenakan pada deliquent dan tidak di perhatikan kasus dimana sanksi juga dikenakan kepada individu dalam hubungan hukum tertentu dengan deliquent. Dia tidak menyadari perbedaan antara diwajibkan (being obligated) dengan bertanggung jawab. Definisinya tentang kewajiban hukum adalah “diwajibkan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau ditempatkan dibawah kewajiban atau keharusan melakukan atau tidak melakukan, adalah menjadi dapat dimintai pertanggungjawaban untuk suatu sanksi dalam hal tidak mematuhi suatu perintah”. Tetapi bagaimana dengan kasus dimana orang selain yang tidak mematuhi hukum, dalam bahasa Austin perintah, bertanggung jawab terhadap suatu sanksi.[1]
Dalam menjalankan jabatannya, notaris mempunyai tanggung jawab moral terhadap profesinya. Menurut Paul F.Camanish sebagaimana dikutip oleh K.Bertens menyatakan bahwa profesi adalah suatu masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kelompok profesi memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai acuan yang disebut Kode Etik Profesi.[2]
Kode Etik tersebut secara faktual merupakan norma-norma atau ketentuan yang ditetapkan dan diterima oleh seluruh anggota kelompok profesi. Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan sekedar hobi belaka.
Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dengan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, dan orang lain.[3]





[1] Kelsen, General Theory, Op.Cit, hlm.71.
[2] E.Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-Norma bagi penegak hukum,Kanisvis,
   Yogyakarta, 1995, hlm.147.
[3] Abdulkadir Muhamad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya, Bandung, 2001, hlm.60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar