Hubungan Teori Kepastian Hukum oleh John Austin
dengan Kewenangan Notaris dalam
Proses Pendaftaran Sertipikat Fidusia Online terhadap Perusahaan Leasing.
John
Austin, sebagai salah satu pilar dari kepastian hukum mengemukakan bahwa
satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara.
Sumber-sumber yang lain dianggap sebagai sumber yang rendah atau lemah (subordinate sources) dan karenanya tidak
memiliki kekuatan mengikat sepanjang aturan dari penguasa ada. Sumber-sumber
yang lebih rendah tersebut (penulis menyebutnya sebagai sumber inferior), bagi
Austin sejatinya tidak dianggap sama sekali oleh Austin karena baginya sumber
itu tidak memiliki kekuatan mengikat dan memaksa. Salah satu konsep dasar dari
Austin yang juga menjadi episentrum positivisme hukum adalah sifat otonom hukum
dan dapat mencukupi dirinya sendiri (self-sufficient)
(Rahardjo, 1991).
Ini
mengindikasikan bahwa, Austin melihat hukum sebagai entitas yang independen dan
adekuat sehingga anasir-anasir non hukum harus dipinggirkan agar tidak
mengganggu prosesi internal dalam hukum itu sendiri, serta menjaga wibawa dan
efektifitas hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di
masyarakat.
Bagi
John Austin, hukum merupakan perintah dari kekuasaan yang berdaulat. Kedaulatan
itulah yang menyebabkan hukum memiliki kekuatan mengikat dan memaksa bagi
setiap warga negara untuk mematuhinya dan memberikan sanksi bagi setiap
pelanggaran yang dilakukan. Sejatinya, Austin memandang bahwa hukum harus
dilembagakan dan dikodifikasi agar hukum benar-benar dapat menjadi patron.
Dapat dibayangkan jika hukum tidak diundangkan atau dibuat dalam suatu
peraturan tertulis, maka gesekan atau benturan legal reasoning menyebabkan
hukum berada pada posisi inferior. Inilah yang sesungguhnya ditakutkan oleh
Austin; bahwa hukum kemudian tidak memiliki wibawa untuk mengatur masyarakat.
Hukum
merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari
yang memegang kedaulatan. John Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem
yang logis, tetap dan bersifat tertutup, sehingga anasir-anasir non hukum
dianggap tidak penting. Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur, yaitu (Imran
Nating, 2008; Otje Salman, 2009):
- Perintah
- Sanksi (sesuatu yang buruk yang melekat pada perintah)
- Kedaulatan
- Kewajiban
Segala
ketentuan yang tidak mengandung empat unsur tersebut di atas, bukan hukum
melainkan hanya moralitas. Inilah episentrum ajaran Austin, bahwa hukum harus
dipisahkan dari konsep moralitas.
Achmad Ali (1996)
mengikhtisarkan ajaran John Austin sebagai berikut:
- Hukum merupakan perintah penguasa (law is a commad of the lawgiver), hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi
- Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup
- Hukum positif harus memenuhi beberapa unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan, di luar itu bukanlah hukum melainkan moral positif.
Keempat unsur
Hukum di atas merupakan inti dari terwujudnya kepastian hukum di bangsa kita. Negara
Indonesia adalah Negara Hukum bukan Negara Agama dan bukan juga Negara Komunis.
Artinya Negara dilindungi, diatur dan dikendalikan oleh Hukum yang berlaku.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 jelas mengatur bahwa jangka
waktu bagi perusahaan pembiayaan wajib mendaftarakan jaminan fidusia paling
lama 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen. Jika
melewati maka pemerintah akan memberi sanksi mulai dari peringatan teguran,
sanksi administratif sampai pembekuan usaha. Namun fakta di lapangan hal ini
belum pernah terjadi.
Tidak adanya
sanksi hukum mengakibatkan lemahnya penegakan hukum dan kepastian hukum tidak
dapat dicapai. Meskipun hukum sudah dibuat dalam bentuk peraturan tertulis
namun hukum tidak ditaati. Penyebabnya adalah belum kuatnya kesadaran hukum
baik dalam diri pemerintah sendiri maupun dalam diri perusahaan pembiayaan (leasing) dan notaris. Belum pernah ada
sanksi ringan atau sanksi berat sesuai aturan yang sudah diberlakukan oleh
Kementrian Keuangan maupun Kementrian Hukum dan HAM diberikan kepada perusahaan
pembiayaan (leasing) yang melewati
batas tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari tersebut. Sementara akta jaminan
fidusia dan sertipikat fidusia online
diterima perusahaan pembiayaan (leasing)
dari notaris lebih dari 30 (tigapuluh) hari atau 1 (satu) bulan tersebut bahkan
sampai berbulan-bulan, bisa sampai 6 (enam) bulan.
Belum adanya
sanksi dari pemerintah terhadap perusahaan pembiayaan (leasing), maka perusahaan pembiayaan (leasing) tidak memberi peringatan atau teguran kepada notaris
selaku pejabat yang sudah diberi wewenang untuk membuat akta jaminan fidusia
dan melakukan pendaftaran sertipikat fidusia online. Notaris bersikap tenang-tenang saja dan mengganggap tidak
ada yang perlu dikuatirkan, karena tidak ada uang dari kantongnya yang harus
dikeluarkan.
Kecendrungan
individu adalah baru bertindak jika ada sanksi yang mengakibatkan pengeluaran
uang dari kantongnya. Demikian juga dengan notaris. Apabila notaris mengetahui
isi dari peraturan perundang-undangan maka notaris wajib memberitahu kliennya,
dalam hal ini perusahaan pembiayaan (leasing)
agar bersama-sama mematuhi aturan sebelum datangnya sanksi dari pemerintah.
Notaris yang baik adalah notaris yang bekerja dan melakukan tanggung jawabnya
dengan tetap memegang asas proffesionalitas dan kode etiknya sebagai pejabat
yang melayani publik dengan suatu kesadaran hukum, dan bukan pejabat yang hanya
mementingkan mencari uang.
Tidak adanya
kepastian hukum juga dapat kita lihat di Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, tertulis : “Kantor Pendaftaran Fidusia
menerbitkan dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia Sertifikat Jaminan
Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan
pendaftaran”. Fakta di lapangan adalah Sertifikat Jaminan Fidusia Online belum tentu diserahkan pada
tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran, tetapi baru
diserahkan apabila notaris selaku pejabat yang melakukan pendaftaran sertipikat
fidusia online sudah membayarkan
biaya PNBP ke Bank persepsi (BNI). Bisa saja pada hari itu juga dan bisa saja
esok hari maupun beberapa hari kemudian. Aturan ini harus menjadi perhatian
bagi pemerintah dan perlu direvisi untuk mencegah kerugian yang akan
ditimbulkan di kemudian hari, baik bagi perusahaan pembiayaan (leasing) maupun bagi notaris sendiri.
Hubungan Teori Pertanggung Jawaban Hukum oleh Hans Kelsen dengan Tanggung Jawab Notaris dalam
Proses Pendaftaran Sertipikat Fidusia Online terhadap Perusahaan Leasing.
Pendekatan
yang dilakukan oleh Kelsen disebut the Pure of Theory Law, dimana hukum tidak
dibatasi oleh pertimbangan moral. Interpretasi hukum berhubungan dengan norma
yang non empiris. Yang sering terjadi adalah norma tersebut memiliki struktur
yang membatasi interpretasi hukum. Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial
dari pemikiran Kelsen adalah :
- Teori hukum adalah teori ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
- Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu hukum alam.
- Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
- Hubungan antara teori hukum dengan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Suatu konsep yang terkait dengan
konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability).
Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia
dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/berlawanan
hukum. Sanksi dikenakan deliquet,
karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab.
Subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum
adalah sama.
Dalam teori tradisional, ada dua
jenis tanggung jawab: pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on
fault) dan pertanggungjawab mutlak (absolut responsibility). Tanggungjawab
mutlak yaitu suatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh
pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatan dengan akibatnya.
Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari perbuatannya.
Hukum tradisional melihat hubungan
antara perbuatan dan efeknya tidak memiliki kualifikasi psikologis tindakan
inividu telah diantisipasi atau dilakukan dengan maksud menimbulkan akibat atau
tidak adalah tidak relevan. Teknik hukum terkini menghendaki suatu pembedaan
antara kasus ketika tindakan individu telah direncanakan dan dimaksudkan untuk efek
tertentu dari perbuatan tersebut dan kasus ketika tindakan seorang individu
membawa akibat merugikan yang tidak diantisipasi atau dikehendaki oleh pelaku.
suatu cita atau ide keadilan individualitas mensyaratkan bahwa suatu sanksi
harus diberikan kepada tindakan individu hanya jika akibat yang merugikan dari perbuatan
telah di antisipasi oleh pelaku dan jika kehendaknya merugikan individu lain
dengan perbuatannya itu.
Suatu akibat yang dianggap merugikan
oleh pembuat undang-undang mungkin ditimbulkan dengan sengaja oleh seorang
individu tetapi tidak dengan maksud merugikan oleh pembuat undang-undang
mungkin ditimbulkan dengan sengaja oleh seorang individu tetapi tidak dengan
maksud merugikan orang lain. Sebagai contohnya seorang anak mungkin membunuh
ayahnya yang sakit yang tak dapat disembuhkan penyakitnya demi mengakhiri
penderitaan ayahnya. Maka maksud anak atas kematian ayahnya bukan tindakan
terlarang.
Demikian juga
yang terjadi pada fakta di lapangan, dimana notaris menyerahkan akta jaminan
fidusia dan sertipikat fidusia online
kepada perusahaan pembiayaan (leasing)
terlambat dan melewati jangka waktu 30 (tigapuluh) hari dikarenakan bukan
kesalahan yang disengaja melainkan karena adanya keterlambatan dari perusahaan
pembiayaan (leasing) menyerahkan data
dokumen nasabah (warkah) kepada notaris yang jumlahnya sangat banyak bisa
ratusan nasabah bahkan ribuan nasabah.
Hal ini jelas
melanggar peraturan perundang-undangan dan merupakan suatu kesalahan tetapi
perusahaan pembiayaan (leasing) mengganggap kesalahan ini masih dapat ditolerir
dan dimaklumi, karena kesalahan tidak sepenuhnya pada notaris tetapi juga
diawali keterlambatan penyerahan data oleh perusahaan pembiayaan (leasing). Terlepas dari tau tidaknya
perusahaan terhadap aturan yang tidak memperbolehkan terbitnya sertipikat
melewati tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari setelah perjanjian pembiayaan,
perusahaan tetap mengganggap notaris sudah melakukan tanggung jawabnya. Padahal
notaris belum tentu mengetahui peraturan yang menyangkut akta dan sertipikat
yang dibuatnya.
Bab III pasal 3
point (d) Kode Etik notaris mengatur dengan jelas bahwa kewajiban seorang
notaris harus meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas
pada ilmu pengetahuan hukum
dan kenotariatan. Notaris dianggap
mengetahui segala sesuatu menyangkut segala peraturan terhadap akta dan
sertipikat yang dibuatnya. Tidak heran perusahaan pembiayaan (leasing) selalu
meminta kepada notaris akta jaminan fidusia dan sertipikat fidusia online yang diserahkan harus dalam
keadaan sempurna dan tidak ada kesalahan 1 (satu) huruf atau 1 (satu) angka
sekalipun..
Pemerintah juga
sampai saat ini belum memberikan teguran atau sanksi terhadap perusahaan pembiayaan
(leasing) yang melakukan pelanggaran
peraturan perundang-undangan ini. Inilah yang perlu diubah dalam budaya
birokrasi di bangsa kita. Setiap pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan jangan dibiarkan sebelum muncul masalah. Sanksi harus
diberikan sebelum muncul masalah di kemudian hari.
Prinsip pemberian sanksi terhadap
tindakan individu hanya karena akibat perbuatan tersebut telah direncanakan dan
dengan maksud yang jahat oleh individu, tidak sepenuhnya diterima hukum modern.
Menurut hukum, individu tidak hanya dianggap bertanggungjawab jika akibat
secara obyektif membahayakan telah ditimbulkan dengan maksud jahat oleh
tindakannya, tetapi juga jika akibat perbuatan tersebut telah dimaksudkan
walaupun tanpa niat yang salah, atau jika akibat tersebut terjadi tanpa adanya
maksud atau direncanakan oleh individu pelaku. Namun sanksinya mungkin berbeda
dalam kasus yang berbeda-beda.
Sanksi itu ditandai dengan fakta
bahwa tindakan yang merupakan delik dengan kualifikasi psikologis. Suatu
keadaan jiwa tertentu dari si penjahat, yakni bahwa dia mengantisipasi atau
menghendaki akibat yang membahayakan (yang disebut mens re), merupakan unsur
suatu delik. Unsur ini disebut dengan istilah kesalahan (fault) (dalam
pengertian lebih luas disebut dolus atau culpa).
Ketika sanksi diberikan hanya terhadap delik dengan kualifikasi psikologis
inilah disebut dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (responsibility
based on fault atauculpability).
Dalam hukum modern juga dikenal bentuk lain dari kesalahan yang dilakukan tanpa
maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan atau kekhilafan (negligance).
Kealpaan atau kekhilafan adalah suatu delik omisi (kelalaian), dan
pertanggungjawaban terhadap kealpaan lebih merupakan pertanggungjawaban absolut daripada culpability.
Tanggung jawab absolut dalam
masyarakat primitif tidak mewajibkan para individu untuk melakukan tindakan
yang diperlukan guna menghindari akibat dari tindakannya yang membahayakan
individu lain, dan hukum pada masyarakat primitif tidak membatasi sanksi pada
kasus-kasus dimana akibat yang membahayakan telah diantisipasi dan dikehendaki
oleh si pelaku atau dimana kewajiban untuk melakukan kehati-hatian yang
diperlukan tidak dipenuhi. Sanksi
dilekatkan pada suatu tindakan yang akibatnya membahayakan telah ditimbulkan
tanpa menghiraukan kehati-hatian yang diperlukan.
Hal ini yang
terjadi di lapangan, dimana perusahaan pembiayaan (leasing) segera meminta notaris untuk melakukan perbaikan (revisi)
atas kesalahan pada akta jaminan fidusia dan sertipikat fidusia online yang dibuatnya. Karena setiap
kesalahan ketik pada akta jaminan fidusia maupun pada sertipikat fidusia online sepenuhnya merupakan tanggung
jawab notaris. Sehingga ketika diserahkan kembali kepada perusahaan pembiayaan
(leasing), akta dan sertipikat sudah
dalam keadaan sempurna.
Konsep kewajiban
yang dikembangkan disini adalah konsep yang dimaksudkan oleh teori analitis
Austin, argumentasi Austin berdasarkan pada asumsi bahwa sanksi selalu
dikenakan pada deliquent dan tidak di perhatikan kasus dimana
sanksi juga dikenakan kepada individu dalam hubungan hukum tertentu dengan deliquent. Dia tidak
menyadari perbedaan antara diwajibkan (being obligated) dengan bertanggung jawab.
Definisinya tentang kewajiban hukum adalah “diwajibkan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau ditempatkan dibawah kewajiban atau
keharusan melakukan atau tidak melakukan, adalah menjadi dapat dimintai
pertanggungjawaban untuk suatu sanksi dalam hal tidak mematuhi suatu perintah”.
Tetapi bagaimana dengan kasus dimana orang selain yang tidak mematuhi hukum,
dalam bahasa Austin perintah, bertanggung jawab terhadap suatu sanksi.[1]
Dalam menjalankan jabatannya, notaris mempunyai tanggung jawab moral
terhadap profesinya. Menurut Paul F.Camanish sebagaimana dikutip oleh K.Bertens
menyatakan bahwa profesi adalah suatu masyarakat moral (moral community) yang
memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kelompok profesi memiliki kekuasaan
sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai
acuan yang disebut Kode Etik Profesi.[2]
Kode Etik tersebut secara faktual merupakan norma-norma atau ketentuan
yang ditetapkan dan diterima oleh seluruh anggota kelompok profesi. Dalam
memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri
dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri artinya dia
bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian
dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan sebagai bagian dari kehidupannya.
Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita
luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan sekedar
hobi belaka.
Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan
pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dengan
pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan bermutu, yang berdampak positif
bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari
keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab
juga berani menanggung resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu.
Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau
mungkin merugikan diri sendiri, dan orang lain.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar