Kamis, 10 Juli 2014

Kerangka Pemikiran
Atas dasar kepastian hukum bagi perusahaan pembiayaan (leasing) dan konsumen sehubungan dengan pelaksanaan transaksi fidusia maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu terbit Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
Kewajiban perusahaan pembiayaan (leasing) menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No.130/PMK.010/2012, Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia.
Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut berlaku pula bagi perusahaan pembiayaan (leasing) yang melakukan:

  1.  pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip syariah;
  2. dan/atau pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).
Dengan keluarnya peraturan ini, maka seluruh perusahaan pembiayaan (leasing) harus mendaftarkan fidusia untuk setiap transaksi pembiayaannya. Oleh sebab itu pasal 2 PMK No. 130/PMK.010/2012, menyebutkan bahwa perusahaan pembiayaan (leasing) wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen. Pendaftaran jaminan fidusia adalah diberikan waktu selama 30 hari untuk melakukan pendaftaran ke kantor Fidusia sejak tanggal Perjanjian pembiayaan. Pendaftaran jaminan fidusia tersebut diserahkan perusahaan pembiayaan (leasing) kepada notaris dengan Surat Kuasa.
Maksudnya demikian: misalnya perjanjian pembiayaan ditanda-tangani pada tanggal 1 Juni 2014, maka pihak perusahaan pembiayaan (leasing) harus mulai meng-order kepada notaris selambat-lambatnya 10 hari kemudian (misalnya tanggal 10 Juni 2014). Sehingga notaris masih mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan aktanya dan menanda-tangani akta jaminan fidusia tersebut, menerbitkan salinan dan mendaftarkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Juni 2014.
Jika perusahaan pembiayaan (leasing) belum memiliki sertifikat fidusia online (sebagai hasil dari pendaftaran jaminan fidusia tersebut), maka menurut Pasal 3 PMK No. 130/PMK.010/2012, Perusahaan Pembiayaan tersebut dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor tersebut. Muncul pertanyaan, berapa lama sertifikat fidusia bisa didapat oleh perusahaan pembiayaan (leasing) setelah pendaftaran jaminan fidusia? Karena hal ini tentunya menyangkut kepada proses penarikan kendaraan (benda jaminan fidusia).
Menurut aturan yang lama (fidusia manual), dimana secara aturan di Kantor Fidusia, sertifikat jaminan fidusia harus sudah terbit 14 hari kerja sejak tanggal pendaftaran. Fakta dalam praktiknya, oleh karena sekarang seluruh perusahaan pembiayaan (leasing) wajib mendaftarkan jaminan fidusianya, maka di dalam praktik terjadi “crash atau tumpukan berkas. Sehingga Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut baru akan terbit setelah 1,5 bulan sejak tanggal pendaftaran. Hal ini tentunya menyulitkan bagi perusahaan pembiayaan (leasing) untuk melakukan penarikan kendaraan bermotor dari nasabahnya yang sudah mulai macet dan tidak dapat membayar cicilan. Karena berarti perusahaan pembiayaan (leasing) tersebut harus menunggu waktu yang cukup lama untuk bisa melakukan penarikan.[1]
Kemungkinan terburuk jika debitur curang dengan sengaja menjual kendaraan bermotornya atau mengatakan hilang kendaraan bermotornya. Untuk mencegah kemungkinan terburuk tersebut, kendaraan bermotor yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan (leasing) langsung dibebani dengan jaminan fidusia, maka akan sangat aneh jika dalam waktu 2 bulan sudah macet. Berarti dalam hal ini, harus dipertanyakan lagi mengenai proses analisa pembiayaannya. Karena jika dikembalikan lagi kepada filosofi kredit, seseorang akan diberikan kredit jika memenuhi criteria dasar yang menggunakan Prinsipnya “5 C” (Character, Capital, Collateral, Capacity dan Condition of Economic).
Kekuatiran akan masalah kelambatan dan ini sekarang tidak lagi perlu dicemaskan dan masalah kecurangan bisa diminimalisasi, karena telah ditutup dengan pendaftaran sertipikat fidusia online. Dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri  Hukum dan HAM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia  secara elektronik (online), Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik (online), Surat Edaran Direktur jenderal Administrasi hukum Umum Nomor AHU-01.OT.03.01 Tahun 2013 tentang Proses Permohonan Jaminan Fidusia pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM dan Surat Edaran Direktur jenderal Administrasi hukum Umum Nomor AHU-06.OT.03.01 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Sistem Administrasi Pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik (online).
Kekuatan Pembuktian menjadi kuat karena sistim yang didesain bertindak cepat, tepat dan aman, sehingga sertipikat fidusia dapat segera keluar ketika notaris sudah membayar PNBP di Bank persepsi (BNI). Tidak perlu menunggu sampai 1,5 bulan lagi baru sertipikat fidusia keluar melainkan sertipikat dapat langsung diprint sendiri oleh notaris setelah dilakukannya pembayaran PNBP. Tidak ada kesulitan lagi bagi perusahaan pembiayaan (leasing) untuk melakukan penarikan kendaraan bermotor dari nasabahnya yang sudah mulai macet dan tidak dapat membayar cicilan, karena sertipikat fidusia sudah dipegang menjadi kepastian hukum dalam melakukan penarikan.
Bagaimana dengan perjanjian pembiayaan yang belum memiliki sertipikat fidusia ? Di dalam Pasal 6 PMK No. 130/PMK.010/2012 menyebutkan bahwa, perusahaan pembiayaan (leasing) yang telah melakukan perjanjian pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia sebelum berlakunya peraturan menteri ini dapat melakukan pendaftaran jaminan fidusia sesuai kesepakatan dalam perjanjian pembiayaan konsumen antara perusahaan pembiayaan (leasing) dengan konsumen.
Lalu, apabila pada kontrak/perjanjian tersebut tidak dilakukan pembebanan apakah perusahaan pembiayaan tetap wajib melakukan pendaftaran jaminan fidusia? Maksud di pernyataan di dalam pasal 6 tersebut adalah akta fidusia yang lama, masih tetap dapat didaftarkan (tidak expired). tapi tentunya yang dulu belum melakukan pembebanan jaminan fidusia harus tetap melakukan pembebanan susulan, dengan dasar Kuasa Jaminan Fidusia.
Bagaimana bila perusahaan pembiayaan (leasing) tersebut melanggar kewajibannya? Menurut Pasal 4 PMK No. 130/PMK.010/2012 perusahaan pembiayaan (leasing) yang melanggar akan dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha  
Sanksi peringatan diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) hari kalender. Bila ternyata sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan perusahaan pembiayaan (leasing) telah memenuhi ketentuan maka Menteri Keuangan dapat mencabut sanksi peringatan.
Sedangkan apabila pada masa berlaku peringatan ketiga berakhir dan Perusahaan Pembiayaan (leasing) tetap tidak memenuhi ketentuan maka Menteri Keuangan dapat mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. Sanksi pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis kepada perusahaan pembiayaan (leasing), yang berlaku selama jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. Demikian juga dengan sanksi pembekuan usaha, bila sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha  perusahaan pembiayaan telah memenuhi ketentuan maka Menteri Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha dan apabila sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud perusahaan pembiayaan (leasing) tidak juga memenuhi ketentuan Menteri Keuangan mencabut izin usaha perusahaan pembiayaan (leasing) yang bersangkutan.
Fakta di lapangan hal ini belum pernah terjadi. Belum pernah ada sanksi ringan atau sanksi berat sesuai aturan yang sudah diberlakukan oleh Kementrian Keuangan maupun Kementrian Hukum dan HAM diberikan kepada perusahaan pembiayaan (leasing) yang melewati batas tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari tersebut.
Dalam melakukan pendaftaran fidusia online tersebut, selain notaris harus lebih waspada dan teliti dalam membuat akta jaminan fidusia juga dalam melakukan pendaftaran fidusia online, notaris haruslah juga memperhitungkan kecepatan dalam melakukan tanggung jawabnya. Notaris harus lebih hati-hati karena memiliki tanggung jawab yang besar sebagai pejabat yang membuat akta otentik, sehingga ketelitian notaris dalam hal ini sangat dituntut, jangan sampai terjadi hal-hal yang bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan menjunjung tinggi kode etik profesi.
Dalam penyusunan topik kerangka pemikiran tesis ini, penulis menggunakan pemikiran Soejono Soekanto dalam pengumpulan data yaitu  :
1. Studi dokumen atau bahan pustaka
2. Wawancara.
Yang mana metode penelitian tersebut harus menggunakan proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian. Untuk memperkuat kerangka pemikiran dalam tesis ini, penulis mempergunakan Teori Kepastian Hukum oleh John Austin dan Teori Pertanggung Jawaban oleh Hans Kelsen.
Teori Kepastian Hukum dari John Austin juga menjadi episentrum positivisme hukum yaitu sifat otonom hukum dan dapat mencukupi dirinya sendiri (self-sufficient)[2]. Ini mengindikasikan bahwa, Austin melihat hukum sebagai entitas yang independen dan adekuat sehingga anasir-anasir non hukum harus dipinggirkan agar tidak mengganggu prosesi internal dalam hukum itu sendiri, serta menjaga wibawa dan efektifitas hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Bagi John Austin, hukum merupakan perintah dari kekuasaan yang berdaulat. Kedaulatan itulah yang menyebabkan hukum memiliki kekuatan mengikat dan memaksa bagi setiap warga negara untuk mematuhinya dan memberikan sanksi bagi setiap pelanggaran yang dilakukan. Sejatinya, Austin memandang bahwa hukum harus dilembagakan dan dikodifikasi agar hukum benar-benar dapat menjadi patron. Dapat dibayangkan jika hukum tidak diundangkan atau dibuat dalam suatu peraturan tertulis, maka gesekan atau benturan legal reasoning menyebabkan hukum berada pada posisi inferior. Inilah yang sesungguhnya ditakutkan oleh Austin; bahwa hukum kemudian tidak memiliki wibawa untuk mengatur masyarakat.
Hukum merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. John Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup, sehingga analisa-analisa non hukum dianggap tidak penting. Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur, yaitu :[3]

  1.  Perintah
  2. Sanksi (sesuatu yang buruk yang melekat pada perintah)
  3. Kedaulatan
  4. Kewajiban
Segala ketentuan yang tidak mengandung empat unsur tersebut di atas, bukan hukum melainkan hanya moralitas. Inilah episentrum ajaran Austin, bahwa hukum harus dipisahkan dari konsep moralitas. Achmad Ali (1996) mengikhtisarkan ajaran John Austin sebagai berikut:[4]
1.      Hukum merupakan perintah penguasa (law is a commad of the lawgiver), hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi
2.      Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup
3.      Hukum positif harus memenuhi beberapa unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan, di luar itu bukanlah hukum melainkan moral positif.

Teori Pertanggung Jawaban oleh Hans Kelsen disebut berpusat kepada Teori Hukum Murni (the Pure of Theory Law), dimana hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral. Interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Yang sering terjadi adalah norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen adalah :[5]
1.      Teori hukum adalah teori ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
2.      Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu hukum alam.
3.      Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
4.      Hubungan antara teori hukum dengan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

Teori tanggungjawab hukum (liability) disebut juga teori kewajiban hukum. Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan atau berlawanan hukum. Sanksi dikenakan deliquet, karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. Subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama.
Suatu akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang mungkin ditimbulkan dengan sengaja oleh seorang individu tetapi tidak dengan maksud merugikan oleh pembuat undang-undang mungkin ditimbulkan dengan sengaja oleh seorang individu tetapi tidak dengan maksud merugikan orang lain.
Prinsip pemberian sanksi terhadap tindakan individu hanya karena akibat perbuatan tersebut telah direncanakan dan dengan maksud yang jahat oleh individu, tidak sepenuhnya diterima hukum modern. Menurut hukum, individu tidak hanya dianggap bertanggungjawab jika akibat secara obyektif membahayakan telah ditimbulkan dengan maksud jahat oleh tindakannya, tetapi juga jika akibat perbuatan tersebut telah dimaksudkan walaupun tanpa niat yang salah, atau jika akibat tersebut terjadi tanpa adanya maksud atau direncanakan oleh individu pelaku. Namun sanksinya mungkin berbeda dalam kasus yang berbeda-beda.
Sanksi itu ditandai dengan fakta bahwa tindakan yang merupakan delik dengan kualifikasi psikologis. Suatu keadaan jiwa tertentu dari si penjahat, yakni bahwa dia mengantisipasi atau menghendaki akibat yang membahayakan (yang disebut mens re), merupakan unsur suatu delik. Unsur ini disebut dengan istilah kesalahan (fault) (dalam pengertian lebih luas disebut dolus atau culpa). Ketika sanksi diberikan hanya terhadap delik dengan kualifikasi psikologis inilah disebut dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (responsibility based on fault atau culpability). Dalam hukum modern juga dikenal bentuk lain dari kesalahan yang dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan atau kekhilafan (negligance). Kealpaan atau kekhilafan adalah suatu delik omisi (kelalaian), dan pertanggungjawaban terhadap kealpaan lebih merupakan pertanggungjawaban absolut daripada culpability.[6]
Tanggung jawab absolut dalam masyarakat mewajibkan para individu untuk melakukan tindakan yang diperlukan guna menghindari akibat dari tindakannya yang membahayakan individu lain, dan hukum pada masyarakat tidak membatasi sanksi pada kasus-kasus dimana akibat yang membahayakan telah diantisipasi dan dikehendaki oleh si pelaku atau dimana kewajiban untuk melakukan kehati-hatian yang diperlukan tidak dipenuhi.[7]




[2] Rahardjo, S. Ilmu Hukum. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm 99,

[3] Nating, I. “Perkembangan Pemikiran Hukum dari Berbagai Mazhab/Aliran” /html., 2008.[3/07/2014]
[4] Ali, A, Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis. Jakarta: Chandra Pratama, 1996, hlm 122.
[5]W.Friedmann, Teori & Filsafat Hukum, Telaah kritis atas teori-teori hukum (susunan 1), Judul Asli : Legal Theory, Penerjemah: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, Jakarta: PT.Grafindo Persada, 1993, hlm 170.   
[6] Jimly Asshiddiqie , Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hlm 63.
[7] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York: Russell & Russell, 1961, hlm 98. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar